Dari Abdullah bin Mas’ud z, beliau menceritakan bahwa
Rasulullah ` tidur di atas tikarnya. Tikar itu pun membekas di lambung beliau
yang mulia.Parashahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami
buatkan kasur untukmu?” Beliau ` pun menjawab:
مَا لِى
وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ
شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia?! Tidaklah aku di dunia ini
kecuali hanyalah seperti musafir yang bernaung di bawah pohon lalu pergi
meninggalkannya.” [H.R.
At-Tirmidzi].
Hadits yang mulia di atas adalah hadits yang shahih,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani t di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih
beliau, namun dari shahabat yang berbeda, Umar bin Al-Khaththab z. Umar bin
Al-Khaththab z menyampaikan kisahnya, “Aku masuk menemui Rasulullah ` dalam
keadaan beliau berada di atas tikar. Aku pun duduk dan beliau menurunkan
pakaian atas beliau, beliau tidak memiliki yang selainnya. Ternyata, tikar
tersebut telah membuat bekas pada lambung beliau. Aku melihat dengan mata
kepalaku ke dalam lemari Rasulullah `, ternyata di dalamnya hanya ada sedikit
tepung hampir satu sha’ dan ada sejenis daun untuk menyamak kulit dengan jumlah
yang hampir sama di pojok kamar, juga ada kulit baru disamak yang tergantung.
Aku pun menangis. Rasulullah ` bertanya, ‘Wahai Ibnul Khaththab, mengapa engkau
menangis?’ Aku katakan, ‘Wahai Nabi Allah, bagaimana aku tidak menangis,
padahal tikar ini telah membekas di lambungmu. Dan dalam lemari ini, aku tidak
melihat kecuali yang aku lihat. Padahal, di sana Kaisar (penguasa Romawi) dan
Kisra (penguasa Persia) berada di tengah-tengah buah-buahan dan sungai (yakni
kemewahan). Dan engkau adalah utusan dan pilihan Allah l, begini isi lemari
engkau?’ Rasulullah ` pun bersabda, ‘Wahai Ibnul Khaththab, tidakkah engkau
ridha akhirat bagi kita sedang bagi mereka hanya dunia?’” [H.R. Muslim].
Dari hadits yang mulia ini tercerminlah sebuah pribadi
yang mulia, pribadi yang telah dipuji dari atas langit yang ketujuh, “Dan
sungguh engkau berada di atas akhlak yang agung.” [Q.S. Al-Qalam:4].
Inilah salah satu akhlak beliau: zuhud terhadap silaunya gemerlap dunia. Hal
ini bukan berarti kita tidak boleh mencari rezeki sama sekali. Namun, beliau
mencari rezeki yang halal dan tidak menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan.
Bahkan, justru harta beliau diarahkan untuk dakwah dan berderma.
Dengan hadits ini tercermin pula bahwa kemuliaan
seseorang tidaklah diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Namun, kemuliaan
diukur dari apa yang ada di dalam hati yakni ketakwaan. Tidakkah kita mendengar
firman Allah l yang artinya, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kalian adalah yang paling takwa.” [Q.S. Al-Hujurat:13].
Inilah timbangan kemuliaan yang sejati, bukan harta
benda.
n, seperti: membayar zakat, menunaikan kewajiban nafkah, membantu orang yang kesulitan, dan segala bentuk ibadah harta. Jika tidak dikaruniai, dia pun masih bisa menggapai kemuliaan itu dengan cara yang lain, dengan tenaga, pikiran, dan segala hal yang dia mampu.
n, seperti: membayar zakat, menunaikan kewajiban nafkah, membantu orang yang kesulitan, dan segala bentuk ibadah harta. Jika tidak dikaruniai, dia pun masih bisa menggapai kemuliaan itu dengan cara yang lain, dengan tenaga, pikiran, dan segala hal yang dia mampu.
Hadits ini juga mengingatkan kita bahwasanya dunia ini
hanyalah sesuatu yang sementara. Kita di dunia ini tak lebih dari singgah saja.
Tak heran, Rasulullah ` pernah mewasiatkan dalam sebuah hadits yang artinya, “Jadilah
engkau di dunia ini layaknya seorang asing atau penyeberang jalan.” [H.R.
Al-Bukhari dari Ibnu Umar c].
Maka dari itu, hendaknya kita berbekal untuk kehidupan
kekal kita, bukan menyia-nyiakan waktu kita di dunia ini. Hendaknya, apa yang
kita miliki di dunia ini kita jadikan sebagai sarana untuk mencari kehidupan
yang kekal di akhirat kelak. Allah l berfirman yang artinya, “Dan carilah
dari apa yang Allah berikan kepadamu negeri akhirat…” [Q.S.
Al-Qashash:77]. Ibnu Umar c juga pernah berwasiat, “Jika engkau berada pada
sore hari, jangan tunggu paginya, jika engkau pada pagi hari, jangan tunggu
sorenya. Ambillah dari masa sehatmu untuk masa sakitmu dan masa hidupmu sebelum
kematianmu.” Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar